Kurasa tidak ada hal yang paling
menyenangkan saat bisa duduk di caffe sambil menulis kalimat per kalimat yang
aku jadikan sebuah cerita karanganku dan menikmati ice cappuccino bersama farel, laki-laki paling tabah setelah ayahku
yang mampu bersabar menghadapi wanita manja yang menyebalkan seperti aku ini
“aku mencintaimu” ucap farel lembut disela-selaku menulis sambil menatapku dalam-dalam
aku tersenyum dan kembali menatap layar leptopku dan kembali mengetik
aku tersenyum dan kembali menatap layar leptopku dan kembali mengetik
“AIRAAAAA” panggil farel dengan
suara lebih sedikit keras, mencoba menyadarkanku bahwa ada lawan bicaranya yang
butuh tanggapan pernyataannya tadi
aku tertawa melihat muka lucu farel
kalau lagi kesal seperti ini, sangat menggemaskan rasanya ingin aku bawa pulang
wajahnya
“haha iya rel?”
“apakah pernyataan kalau aku mencintaimu adalah hal lucu? mengapa kamu tidak menjawab pernyataanku tadi?
“maaf, bukan maksudku menertawakanmu, hmm iya aku tahu kalau kamu mencintaiku”
“lalu?” sambut farel lagi
“apanya?” tanyaku tidak mengerti
“kamu tidak menjawab kalau kamu mencintaiku juga? atau kamu sudah tidak mencintaiku lagi?”
“apakah pernyataan kalau aku mencintaimu adalah hal lucu? mengapa kamu tidak menjawab pernyataanku tadi?
“maaf, bukan maksudku menertawakanmu, hmm iya aku tahu kalau kamu mencintaiku”
“lalu?” sambut farel lagi
“apanya?” tanyaku tidak mengerti
“kamu tidak menjawab kalau kamu mencintaiku juga? atau kamu sudah tidak mencintaiku lagi?”
Aku terdiam, Pertanyaan farel
bagaikan tamparan keras dipipiku. Bagaimana mungkin aku tidak mencintainya
lagi? Pria yang sudah menemaniku selama aku kuliah disini, selalu ada disaat aku
membutuhkannya, selalu menjadi penyemangat saat aku sudah malas menulis, selalu
menjadi obat saat aku sakit karena melihat senyumnya adalah alasanku ingin
cepat sembuh dan kembali beraktivitas kembali bersamanya.
“Mengapa diam?” tanya farel kembali
membuyarkan lamunanku
Aku menyingkirkan leptopku dan
menatapnya
“haruskah aku menjawabnya?” tanyanya
aku balas lagi dengan pertanyaan
“bagaimana aku bisa tahu kalau kamu mencintaiku jika kamu tidak menjawabnya?” farel mengembalikan pertanyaanku lagi dengan pertanyaan juga
“seandainya aku bisu, berarti kamu tidak akan pernah tau kalau aku mencintaimu?”
“tapi kamu tidak bisu, ra”
“iya, aku emang tidak bisu. Tapi misalnya aku bisu berarti kamu tidak akan pernah tahu kalau aku mencintaimu?
“seorang yang bisu bukan berarti dia tidak bisa menulis, dia memang tidak bisa berbicara tapi bisa saja dia memberi tahu dengan sebuah tulisan, ra”
“bagaimana aku bisa tahu kalau kamu mencintaiku jika kamu tidak menjawabnya?” farel mengembalikan pertanyaanku lagi dengan pertanyaan juga
“seandainya aku bisu, berarti kamu tidak akan pernah tau kalau aku mencintaimu?”
“tapi kamu tidak bisu, ra”
“iya, aku emang tidak bisu. Tapi misalnya aku bisu berarti kamu tidak akan pernah tahu kalau aku mencintaimu?
“seorang yang bisu bukan berarti dia tidak bisa menulis, dia memang tidak bisa berbicara tapi bisa saja dia memberi tahu dengan sebuah tulisan, ra”
Aku tersenyum lalu meminum ice
cappuccino yang sudah berkeringat
“itu kamu tahu jawabanya” aku
membenarkan jawaban farel
“maksudnya? farel semakin bingung
“Allah menciptakan kita sesempurna mungkin, bagian tubuh kita lengkap kan? Orang bisu bisa saja mengutarakan perasaannya melalui tulisan.karena tidak bisa bicara. Mengapa kamu tidak coba alternative lain? Kamu bisa gunakan hati kamu untuk tahu jawabannya, kamu bisa merasakannya dengan hati kamu,rel"
“maksudnya? farel semakin bingung
“Allah menciptakan kita sesempurna mungkin, bagian tubuh kita lengkap kan? Orang bisu bisa saja mengutarakan perasaannya melalui tulisan.karena tidak bisa bicara. Mengapa kamu tidak coba alternative lain? Kamu bisa gunakan hati kamu untuk tahu jawabannya, kamu bisa merasakannya dengan hati kamu,rel"
farel terdiam, mencoba menerka-nerka
apa maksud ucapanku
“aku tahu kalau kamu mencintaiku
tanpa kamu menyatakannya. mata kamu udah ungkapin semuanya. Aku juga bisa
merasakannya, hati aku bisa merasakannya, rel,”
Aku menggenggam tangan farel dan
mencoba meyakinkannya
“cinta itu engga harus di ungkapkan,
cukup dengan perbuatan. Apakah kebersamaan kita selama ini belum mampu menjawab
kalau aku mencintaimu juga?”