Monday, March 30, 2015

Hanya Tak Ingin Menangis Lagi



Matanya memerah seakan menahan amarah yang tak tertahankan, tangannya mengepul seolah bersiap ingin menghantam apa saja yang ada di hadapannya, bulir-bulir air mata satu-persatupun mulai jatuh dari pelupuk mata, mukanya memerah seperti bara api yang siap ia kobarkan hingga menjilat seluruh kenangan hingga terbakar habis, iya habis tak tersisa. Untuk apa lagi?

Sejak pertengkaran yang membuat ia kehilangan segalanya, saat itu juga ia sadar betapa sangat bodohnya ia mampu bertahan sampai sejauh ini jika hanya air mata yang ia dapatkan? Untuk apa ia menahan kepedihan karena keegoisan Farel selama ini kalau ia tak pernah mendapatkan sedikitpun kebahagiaan? Berkali-kali ia melemparkan batu kecil ke dalam danau yang cukup dalam itu, entah berapa batu yang jelas saat ini ia hanya bisa meluapkan kekesalannya dengan cara seperti ini, melemparkan sejauh mungkin batu yang ia genggam berharap perasaan sakit itu pergi sejauh mungkin dari kehidupannya.

“Aku tak ingin menangis lagi” teriaknya seraya melempar batu kecil sejauh mungkin, kemudian ia terjatuh palanya terasa berat karena menangis seharian, ia meringkuk pada lututnya, air matanya masih terus menetes tak bisa berhenti meskipun ia mencoba untuk menahannya, mungkin sakit yang ia derita saat ini sangat begitu perih dan menyesakkan, ia masih saja terus terisak, tangannya menggenggam batu kecil itu dengan seerat mungkin, perih sangat perih, tangannya terluka berdarah. Tapi rasa perih ditangannya tak seberapa sakit dengan rasa perih yang saat ini sedang menyesakkan perasaannya.

“Aku membencimu, Rel”  masih dengan isak tangis yang masih belum reda, kini pernapasannya pun tercekat, emosinya mulai tak terkendali. Kebenciannya pada Farel semakin menjadi-jadi, pergi begitu saja seolah tak pernah merasa bersalah sedikitpun menganggap dirinya sebagai sampah yang tak ada harganya lagi. Bagaimana mungkin Aira tak membenci Farel yang sebegitu hina kini memandangnya? Padahal dulu mata Farel adalah mata yang paling begitu terpana akan kelembutan Aira, kini mata itu seolah tak sudi memandang gadis kecil yang kian hari semakin rapuh, begitu rapuh hingga hanya tangis yang menghiasi hari-hari yang tak begitu indah buatnya lagi.

Sejujurnya Aira tak pernah ingin membenci orang yang sampai detik ini masih ada disisi hatinya, tapi Farel sendirilah yang selalu memberi celah untuk dibenci. Kata-kata yang seolah-olah seperti sayatan pisau kini membuat hatinya terluka lagi, entah yang keberapa kali yang jelas rasanya masih sama, masih sakit seperti dulu saat sayatan itu berkali-kali membuat hatinya terluka. Meredam amarah kebencian hanya kesia-siaan semata saat ia mencobanya lagi, lagi dan lagi. Kini amarah kebencian  di hatinya benar-benar menyala, bahkan ia sungguh tak sudi menatap mata Farel lagi. Celah yang Farel buat sendiri membuat amarahnya memuncak. Sikap dan perkataan Farel kian membuatnya muak, berulang kali memberi maaf hanya akan membuatnya lelah

“Aku ga akan pernah maafin kamu, Rel. jangan pernah datang padaku lagi untuk mengucapkan kata kesia-siaan itu lagi” tangannya mencoba mengusap bulir-bulir sisa air mata yang masih merekat pada pipinya, Aira tersenyum sinis. Ia seolah menjadi wanita jahat yang mati rasa. Kini ia berjanji bahwa air mata ini adalah air mata terakhir yang ia keluarkan, ia tak pernah lagi bersedih untuk laki-laki yang saat ini sudah sangat ia benci, dan ia takkan pernah lagi bersikap baik pada laki-laki yang membuat hatinya perih tak tertahankan hingga ia tak bisa lagi tersenyum lepas seperti saat ia sebelum mengenal laki-laki yang membuat hatinya rusak. Ia berjanji di danau yang menjadi saksi seberapa air mata yang sudah ia teteskan untuk laki-laki yang tak berharga, ia akan berbahagia selamanya, tanpa pernah lagi mengingat luka, tanpa pernah lagi terisak, dan takkan pernah lagi membuka kotak memori yang sudah ia kubur dalam.

Aira bangkit dari jatuhnya, ia pulang dengan kebencian pada Farel yang masih belum bisa ia hilangkan. Langkah kakinya terseok berusaha untuk tetap terus berjalan pulang, dengan susah payah menahan berat kepedihan yang akan membuat ia terjatuh kembali, akhirnya Aira berhasil menahan semuanya, ia tak terjatuh lagi, ia berhasil pulang, tak adalagi tetes air mata yang membanjiri pipi merahnya. Kini ia akan terus berjalan ke depan tanpa pernah lagi menengok kebelakang.

Sunday, March 15, 2015

Perkara Melepaskan



Ini bukan soal siapa yang paling sakit atau yang paling menyakiti, ini soal melepaskan. Terkadang melepas memang terasa amat berat terlebih saat kita sangat mencintainya. Kata  lepas seolah mimpi buruk yang selalu menghantuiku hingga saat ini. Melepasnya untuk saat ini adalah pilihan terbaik, karena untuk menggenggampun aku tak bisa, Allah tak suka. Aku tak tahu apakah aku bisa melepasnya atau tidak, selama ini dia yang terus di sampingku dan untuk pergi darinya butuh usaha yang keras tapi bukankah Allah selalu membantu hambanya untuk menjadi lebh baik? Aku yakin Allah takkan pernah membiarkan hambanya tersesat, galau, tak punya arah tujuan. Allah akan membantuku pergi dari ini semua, dari hal-hal yang membuat air mataku mengalir dengan derasnya, dari cinta yang tidak halal

Sejujurnya aku ingin terus bersamanya berbagi kisah berdua, berbagi tangis, tawa, canda, bahagia. Walaupun sebenarnya aku tak siap, tapi aku harus. Aku tak ingin menodai cintaku dengan napsu, aku tahu terkadang rasa ingin selalu bersamanya adalah napsu yang selalu dibisikan oleh setan untuk menjerumuskanku kedalam jebakannya. Setan menginginkanku untuk melupakan Allah dengan selalu membisikkan tentang cinta yang sebenarnya tidak halal setan meramunya seindah mungkin hingga aku mabuk kepayang merasakan cinta padahal sesungguhnya itu hanya merusak, cinta yang tak halal hanya akan merusak cinta yang suci dari Allah.

Sekarang biarkan aku menutup diriku hanya doa yang dapat ku lakukan saat ini, memendam rindu yang sangat menyiksa, menundukkan pandangan saat berhadapan dengannya, karena aku sangat mencintainya karena Allah biarkan aku mundur beberapa langkah darinya berusaha sejauh mungkin dan tak ingin terlihat lagi olehnya. Aku hanya ingin menjaga cintaku agar tak ternodai biarkan saja doa menjadi satu-satunya obat rindu yang paling ampuh. Jika memang Allah berkenan menyatukanku dengannya Allah sendiri yang akan melangkahkan kaki kita bersama. Tapi jika Allah tidak berkenan menyatukan aku dengannya biarkan aku menjaga hatiku hanya untuk laki-laki yang pantas mengambilnya dengan yang di halalkan-Nya, laki-laki yang Allah pilih untuk menjadikan imam bagiku dan calona ayah untuk anakku kelak. :)

Apakah Kau Merasakan Sakit yang Sama?




Terkadang aku ingin menangis sekencang-kencangnya pada pelukanmu, maraung-raung mengungkapkan segala pedih yang selalu tercipta di setiap helaan napas. Setiap saat itu tiba, ku tepis keinginan yang mungkin takkan pernah terjadi itu, ku hilangkan semua angan yang sampai kapanpun hanya akan menjadi angan-angan., ku simpan segalanya dalam sebuah kotak memori yang mungkin takkan pernah kubuka lagi.

Kali ini aku merasa sepi, tak ada bahu yang bisa kusandarkan, tak ada lagi yang mengusap tetesan air yang kian membasahi pipi, dan tak ada lagi sosok yang dulu selalu menguatkan. Kini semua terasa hampa, benar-benar kosong, sepi dan mati. Kupikir aku ingin segera melenyapkan perasaan yang kian membuat segala sesak yang tak pernah henti, segala sakit yang tak tertahankan lagi, segala pedih yang kian terasa perih. Tapi.. aku tak punya daya dan kekuatan untuk itu. Perasaan itu selalu saja menghampiri, upayaku untuk menghindar tak pernah berhasil, perasaan itu selalu saja menghantui di sela-sela malam yang gigil.

Kopi ini terasa benar-benar pahit, kelam, hitam dan tak ada sedikitpun rasa manis yang masuk ke dalam kerongkongan. Rasanya ingin sekali ku muntahkan semuanya, ku buang segala kepahitan yang selama ini ku alami, tapi sudah terlanjur ku telan habis hingga yang tersisa kini hanya ampas. Sengaja aku habiskan semuanya karena kupikir pahitnya akan segera berakhir dengan rasa manis, tapi ternyata dugaanku salah atau mungkin saja belum terasa? Entahlah, kerongkonganku masih saja pahit.

Apakah engkau merasakan hal yang sama, wahai tuanku? Merasa rindu tapi enggan untuk mengungkapkan, perasaan gigil yang di sebabkan oleh kesepian yang tak berkesudahan, perasaan ingin mengulang kembali putaran filem yang diperankan oleh kita berdua? Perasaan sesak saat siluet kenangan kecil lewat begitu saja? Apakah kau juga merasakan hal yang sama? Aku rindu, kesepian, dan ingin sekali  mengulang saat-saat indah itu. Apakah kau merasakan hal yang sama?

Entahlah, rasanya aku ingin mengakhiri semuanya. Aku tak mau merasakan kepedihan ini lagi. Sampai kapan aku terus seperti ini? Sampai kapan? Kadang aku ingin berteriak “aku lelah” dan melepaskan segala beban dipundak dan segala tumpukan rasa sakit. Selalu saja seperti itu, berkali-kali, hingga aku muak dan tak sanggup lagi untuk berdiri. Tak sanggup untuk bangkit menghadapi dunia yang sangat amat kejam.

Saturday, March 14, 2015

#693 KM Jejak Gerilya Sudirman: Sebuah Novel by Ayi Jufridar


Judul              : 693 KM Jejak Gerilya Sudirman: Sebuah Novel
Penulis           : Ayi Jufridar
Penerbit         : Nourabooks
Code              : 978-602-1306-07-9
Terbit             : Januari 2015
Jenis Cover   : Soft Cover
Halaman        : 328
Ukuran           : 135 x 200 mm
Berat              : 350 gram
Bahasa          : Indonesia













Sinopsis:
DI ATAS singgasananya – sebuah tandu kayu – Sudirman merasakan semangat menyala sekaligus kekecewaan yang mendalam. Dia bisa memilih diam di Istana, menunggu musuh datang untuk menangkapnya seperti yang dilakukan pemimpin lain. Kesehatan yang buruk menjadi alasannya untuk bersembunyi atau melakukan perlawanan di balik jeruji besi. 
Sebagai panglima perang dari sebuah negara yang baru lahir, Sudirman melanjutkan perjuangan dari hutan ke hutan dengan siasat yang tak pernah disangka musuhnya. Sebuah perlawanan yang kelak menjawab pertanyaan; Indonesia akan mendapatkan kemerdekaan sepenuhnya atau kembali dalam cengkeraman penjajah. Meski setelah tujuh bulan, api gerilya yang menggelora harus padam oleh keputusan politik – bukan karena kehebatan Belanda. 
Berlatar sejarah pasca-kemerdekaan, novel ini menjawab apa sesungguhnya yang menjadi sumber kekuatan Sudirman dalam perang gerilya dan kekecewaan Sang Jenderal terhadap pemimpin sipil. 

***

“… Saya sungguh merasa lebih dekat secara emosional setelah membacanya …  wajib dimiliki." 
—Happy Salma, Artis  

“Ayi telah memperkaya novel fiksi sejarah di Indonesia ….”

—Dipo Alam, Sekretaris Kabinet Indonesia Bersatu 2010 – 2014, penulis, dan pelukis. 

“ … Ayi Jufridar memberikan kita gambaran pahlawan secara manusiawi.”

—Kurnia Effendi, sastrawan

“Sebuah novel berlatar sejarah yang dituturkan dengan lincah. Penuh

intrik dan hal-hal yang mengejutkan.” 
—Guntur Alam, Penulis  novel Di Bawah Langit Jakarta.

“Cara paling baik membaca novel ini adalah dengan melihat Sudirman dalam kronika sastrawi, bukan biografis semata.”
Teuku Kemal Fasya, Penggiat  jaringan kebudayaan Aceh

“Kisah dengan napas dan ruh baru, Ayi berhasil menghidupkan kembali sosok pahlawan terbesar Indonesia di tengah kita, dengan gambaran yang lebih dekat dan nyata.
Arafat Nur, Peraih Khatulistiwa Literary Award 2011

“Kemampuan Ayi Jufridar meruntunkan kata secara sistematis dalam novel ini, membuat kita bisa menghayati perjuangan gerilya Jenderal Sudirman yang begitu heroik untuk diteladani seluruh anak bangsa dalam peradaban moderen.”   
Prof Dr H Apridar, Guru  besar Universitas Malikussaleh Aceh




 Hadir di toko buku Gramedia di seluruh Indonesia atau pesan online di:

Atau dapat menghubungi penulis langsung di Twitter: @AjiJuf

More book from Ayi Jufridar:
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com