Matanya
memerah seakan menahan amarah yang tak tertahankan, tangannya mengepul seolah
bersiap ingin menghantam apa saja yang ada di hadapannya, bulir-bulir air mata
satu-persatupun mulai jatuh dari pelupuk mata, mukanya memerah seperti bara api
yang siap ia kobarkan hingga menjilat seluruh kenangan hingga terbakar habis,
iya habis tak tersisa. Untuk apa lagi?
Sejak
pertengkaran yang membuat ia kehilangan segalanya, saat itu juga ia sadar
betapa sangat bodohnya ia mampu bertahan sampai sejauh ini jika hanya air mata
yang ia dapatkan? Untuk apa ia menahan kepedihan karena keegoisan Farel selama
ini kalau ia tak pernah mendapatkan sedikitpun kebahagiaan? Berkali-kali ia
melemparkan batu kecil ke dalam danau yang cukup dalam itu, entah berapa batu
yang jelas saat ini ia hanya bisa meluapkan kekesalannya dengan cara seperti
ini, melemparkan sejauh mungkin batu yang ia genggam berharap perasaan sakit
itu pergi sejauh mungkin dari kehidupannya.
“Aku
tak ingin menangis lagi” teriaknya seraya melempar batu kecil sejauh mungkin, kemudian
ia terjatuh palanya terasa berat karena menangis seharian, ia meringkuk pada
lututnya, air matanya masih terus menetes tak bisa berhenti meskipun ia mencoba
untuk menahannya, mungkin sakit yang ia derita saat ini sangat begitu perih dan
menyesakkan, ia masih saja terus terisak, tangannya menggenggam batu kecil itu
dengan seerat mungkin, perih sangat perih, tangannya terluka berdarah. Tapi
rasa perih ditangannya tak seberapa sakit dengan rasa perih yang saat ini sedang
menyesakkan perasaannya.
“Aku
membencimu, Rel” masih dengan isak
tangis yang masih belum reda, kini pernapasannya pun tercekat, emosinya mulai
tak terkendali. Kebenciannya pada Farel semakin menjadi-jadi, pergi begitu saja
seolah tak pernah merasa bersalah sedikitpun menganggap dirinya sebagai sampah
yang tak ada harganya lagi. Bagaimana mungkin Aira tak membenci Farel yang
sebegitu hina kini memandangnya? Padahal dulu mata Farel adalah mata yang
paling begitu terpana akan kelembutan Aira, kini mata itu seolah tak sudi
memandang gadis kecil yang kian hari semakin rapuh, begitu rapuh hingga hanya
tangis yang menghiasi hari-hari yang tak begitu indah buatnya lagi.
Sejujurnya
Aira tak pernah ingin membenci orang yang sampai detik ini masih ada disisi
hatinya, tapi Farel sendirilah yang selalu memberi celah untuk dibenci.
Kata-kata yang seolah-olah seperti sayatan pisau kini membuat hatinya terluka
lagi, entah yang keberapa kali yang jelas rasanya masih sama, masih sakit
seperti dulu saat sayatan itu berkali-kali membuat hatinya terluka. Meredam
amarah kebencian hanya kesia-siaan semata saat ia mencobanya lagi, lagi dan
lagi. Kini amarah kebencian di hatinya
benar-benar menyala, bahkan ia sungguh tak sudi menatap mata Farel lagi. Celah yang
Farel buat sendiri membuat amarahnya memuncak. Sikap dan perkataan Farel kian
membuatnya muak, berulang kali memberi maaf hanya akan membuatnya lelah
“Aku
ga akan pernah maafin kamu, Rel. jangan pernah datang padaku lagi untuk
mengucapkan kata kesia-siaan itu lagi” tangannya mencoba mengusap bulir-bulir
sisa air mata yang masih merekat pada pipinya, Aira tersenyum sinis. Ia seolah
menjadi wanita jahat yang mati rasa. Kini ia berjanji bahwa air mata ini adalah
air mata terakhir yang ia keluarkan, ia tak pernah lagi bersedih untuk
laki-laki yang saat ini sudah sangat ia benci, dan ia takkan pernah lagi
bersikap baik pada laki-laki yang membuat hatinya perih tak tertahankan hingga
ia tak bisa lagi tersenyum lepas seperti saat ia sebelum mengenal laki-laki
yang membuat hatinya rusak. Ia berjanji di danau yang menjadi saksi seberapa
air mata yang sudah ia teteskan untuk laki-laki yang tak berharga, ia akan
berbahagia selamanya, tanpa pernah lagi mengingat luka, tanpa pernah lagi terisak,
dan takkan pernah lagi membuka kotak memori yang sudah ia kubur dalam.
Aira
bangkit dari jatuhnya, ia pulang dengan kebencian pada Farel yang masih belum
bisa ia hilangkan. Langkah kakinya terseok berusaha untuk tetap terus berjalan
pulang, dengan susah payah menahan berat kepedihan yang akan membuat ia
terjatuh kembali, akhirnya Aira berhasil menahan semuanya, ia tak terjatuh
lagi, ia berhasil pulang, tak adalagi tetes air mata yang membanjiri pipi
merahnya. Kini ia akan terus berjalan ke depan tanpa pernah lagi menengok
kebelakang.