Sejak
pertengkaran hebat beberapa minggu yang lalu, aku tak pernah lagi mendengar
bagaimana keadaannya, bahkan burung merpati pun enggan untuk memberi kabar.
Terkadang rindu datang mengemis sua, kadang merasa kasihan pada sesak yang
merengek akan pahitnya merindu. Tapi aku sudah berjanji tidak akan menuruti,
takkan lagi aku merasa iba pada diriku sendiri biarkan saja rindu ini ku kubur
dalam, sedalam mungkin sampai aku lupa kalau aku pernah merasakan sesaknya
rindu.
Ku
seka air mata yang jatuh pada pelipis mata, menetes dengan deras menembus
bantal bergambar hello kity berwarna
biru langit. Air mata ini masih saja menetes entah karena rindu ini yang begitu
sesak atau mungkin karena memang aku yang begitu rapuh dan tak mampu menahan gigilnya rindu. Kadang aku
merasa kesal pada diriku sendiri, mengapa aku begitu rapuh hingga air mata
sangat mudah jatuh dengan bebasnya. Bahkan hanya dengan siluit kenangan kecil
bisa saja mengundang hujan deras di pelupuk mata ini dan membuat gigil hingga
mati rasa..
Bagaimana
kabarnya? Apakah ia baik-baik saja? Apakah sakit dikepalanya masih sering
kambuh? Makan apa dia hari ini? Apakah ia masih suka begadang hingga membuat
badannya begitu ringkih?. entahlah, tak pernah lagi aku mendengar kabarnya,
rasanya aku ingin sekali menekan tombol send pada layar ponselku dengan jujur
mengatakan bagaimana rindu yang begitu sesak ini padanya. Tapi kuurungkan
niatku untuk mengirimnya pesan singkat dan kuhapus lagi, karena sejujurnya aku
takut jika hanya abai yang kudapat.
Dari
begitu sesaknya menahan rindu, lebih begitu amat menyesakkan apabila ia
mengabaikan rindu yang begitu menggebu-gebu ini, lebih baik ku pendam dan tak
ku sampaikan padanya daripada terabaikan, terbuang, dan tak di hargai. Sejujurnya
aku tak pernah mengharapkan ia juga membalas rindu ini, cukup dengan ia
menghargai dan tidak mengabaikan semua rindu-rinduku yang ku kumpulkan menjadi
bait-bait tulisan yang sederhana ini
saja sudah jauh lebih dari cukup.
Oh
iya, tak apa, jika ia tak merindukanku.